Sep 29, 2015 - (Edisi I, 1883) mengenai karya-karya gramatikal lainnya, buku tentang. Zhuan ke bahasa Perancis 6 Lihat terjemahan bahasa Jerman oleh Prof. Dari Penerbit Oxford untuk mempublikasikannya atas rekomendasi Prof. Budaya, dan Psikologi ini merupakan buku keenam dari sembilan buku yang akan. Perselisihan antara Vattenfall dan Pemerintah Jerman, dipicu oleh keputusan. Secara gramatikal dapat disimpulkan bahwa bentuk pengenaan ganti. Ketiga, menganalisis dan meberikan rekomendasi pengaturan terkait hak.
Transformasi Filsafat Hermeneutika Jerman Untuk Akuntansi, dan Auditing Schleiermacher (1768-1834), Dilthey (1833-1911), Gadamer (1900-2002), Habermas (1929) Studi Etnografi Clifford Geertz, dan Genealogi Michel Foucault Pada KAP Di Jakarta. Dalil-Dalil Hasil Invensi. Untuk penyusunan dalil invensi ini diadopsi empat tokoh pemikiran Filsafat Hermeneutika Jerman Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Hans-Georg Gadamer (1900-2002), Jurgen Habermas (1929).
Pendasaran transformasi ini adalah satu fakta dapat diterangkan menjadi banyak fakta atau penjelasannya konsep tergantung epistimologinya. Pendasaran transformasi ini adalah satu fakta dapat diterangkan menjadi banyak fakta atau pejelasannya konsep tergantung epistimologinya. Filsafat Hermenutika Ideologi Kritik (Frankfurt School) untuk auditing dimaknai:penulis laporan keuangan (auditee): (a) tidak mungkin menulis laporan keuangan dengan menginterperatasikan SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), menghasilkan catatan akuntansi dapat dipercaya dan handal karena (1) tulisan adalah pada targetnya dunia mental penulis dan tidak masuk dalam dunia batin. SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), SPAP atau Standar Audit tidak memuat unsur pemahaman batin yang merupakan fenomena kemanusian, (2) memahami SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), dan transaksi kemudian melakukan jurnal pencatatan adalah seni bicara (retorika), seni menulis, seni memahami sebagai interprestasi dunia psikologis mental (isi SAK= Syariah, ETAP, IFRS, ASP). (3) Memahami SAK adalah memahami isi pikiran IAPI artinya terdapat jurang tebal pemahaman Dewan Standar Akuntansi, dengan pengguna Standar dalam Praktik. Terdapat jarak pemahaman antara penyusun SAK, dan pengguna SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), (1) memahami SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), dengan versi IAPI adakah berbeda dengan pemahaman pengguna (klien). Maka memahami harus ditanyakan ke mereka IAPI sendiri itu baru benar.
Karena itu ada dua bentuk pemahaman yakni (eksplanasi), fakta empirik, sisi luar proses objektif, fakta fisik, analisis kausal mestinya tidak terdapat perbedaan, sedangkan ( understanding), sisi dalam, fakta mental, berpartisipasi dalam komunitas, dan life expression adalah berbeda antara penyusun standard dan pengguna standard. Laporan keuangan disusun oleh auditee adalah ekspresi komunikasi simbolik kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan lahirnya satu diskursus, digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat.
Model Riset Invensi Penelitian, adalah menggunakan pendekatan Etnografi Clifford Geertz, dan Genealogi Michel Foucault. Pendasaran Epistimologi Akuntansi, dan Auditing Mengadopsi Pemikiran Filsafat Hermenutika Jerman berdasarkan Pada Auditor, dan Auditee: Penelitian dilakukan di Kantor Akuntan Publik 3 di Jakarta selama 6 tahun.
Untuk menyusun Dalil-Dalil saya membuat paradigma ilmu akuntansi/auditing berikut ini:. Dalil (1): Auditing Hermeneutical dilakukan dengan metode transposisi diri pada makna teks literasi ( nacherleben = 'dialami kembali) dengan memahami isi pikiran auditee. Cara nya ada dua yakni interpretasi gramatis (kalimat gaya bahasa simantik, kata-kata dipakai, sejarah), dan interprestasi dunia psikologis mental (apa kiranya isi pemikiran kembali yang dipikir penulis). Dalil (2):Auditing adalah seni bicara (retorika), seni menulis, seni memahami.
Pada seni bicara (retorika), seni menulis merupakan sisi luar pikiran tentang apa yang diungkapkan; seni memahami adalah sisi dalam manusia. Tugas auditor adalah memahami tulisan dan targetnya adalah dunia mental (pikiran) penulis laporan keuangan ( auditee). Dalil (3):Gerak auditor adalah membaca maka melakukan isi tulisan kepada isi pikiran; sedangkan menulis geraknya dari pikiran ketulisan. Merupakan proses dialektik 'evaluasi' dan transposisi diri sehingga lebih baik dan lebih paham. Dalil (4):Auditor adalah menghadirkan makana masa lalu dalam bentuk psikologis gramatis sehingga fungsi reproduksi auditor menjadi lebih baik dibandingkan penulis awal.
Audit metode hermeneutical adalah mengambil alih fungsi dari fungsi pengarang sehingga lebih baik dari penulis aslinya. Dalil (5): Auditor memahami klien ada dua cara Geisteswissenschaften,dan Naturwissenschaften. (1) Geisteswissenschaften adalah metode verstehen atau life expression dengan cara memahami psikologi manusia atau objek dalam person dimensi batiniahnya (' innenleben') melalui etnografi, empati, transposisi ikut berpartisipasi dalam komunitas, (2) Naturwissenschaften adalah metode E rkleren (eksplanasi), fakta empirik, sisi luar proses objektif, fakta fisik, analisis kausal determenistik. Dalil (6):Kendala auditor memahami klien adalah masalah prasangka disusupkan sengaja (penyimpulan tergesa-gesa).
Maka auditor harus dapat memilah dan memilih metode prasangka yang legitim dan non legitim. Ada kemungkinan diam-diam (prasangka = Vorurteil) dimasukkan dalam ilmu auditing sehingga sampai hari ini terdapat kesalahan.
Ilmu semua merupakan prasangka diakibatkan 'sejarah pengaruh' dalam berpikir. Dalil (7): Akibat 'Sejarah Pengaruh' maka auditor itu sendiri adalah sejarah itu atau auditor adalah pelaku sejarah). Sejarah pengaruh adalah fusion of horizons: maka terjadi 4 hal yakni (a) auditor tersituasi, (b) kesadaran adanya bayang bayang tradisi, (b) kesadaran anak zaman, (d) repleksi diri dalam sejarah. Dalil (8): Auditing pendekatan hermeneutical adalah perluasan penggabungan/asimilasi fusi horison yang semakin meluas semakin ke atas, tetapi ada batas, meskipun ada ruang. Dalil (9): Auditor yang bijaksana ( bildung) dapat membedakan dan mendefinsikan Horizon lalu dengan Horizon kini, Memahami dalam konteks Horizon kekinian.
Prakttik audit atau 'aplikasi' bersamaan atau sama dengan pemahaman; pemahaman terjadi ketika di aplikasikan atau terjadi pada saat opini. Opini adalah pemahaman itu sendiri. Aplikasi terjadi pemahaman, ketika menilai efek masa lalu, dan apa efeknya ke depan. Persis ketika menerapkannya (aplikasi) hasil aplikasi adalah pemahaman.
Dalil (10): Auditor yang kompeten mampu melampaui, dan putus hubungan dengan tradisi ('pindah keyakinan'), menerima, menolak, menunda; mendoroang pengetahuan, karena ada bahasa tidak netral/kekuasan kapitalisme. Dalil (11) Auditor yang kompeten mampu disertai dengan otonomi ( self-governance) dan tanggung jawab, untuk menghasilkan idial percakapan dengan tulisan dengan mempraktikkan SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), untuk memperoleh pemahaman bahkan melampaui hal ini. Dalil (12): Kebenaran auditing identik dengan kehendak untuk berkuasa bersifat 'alienasi' seperti ' agency theory' sebagai hegemoni yang tidak sadari pada wilayah ' grand narrative'. Laporan keuangan mengandung kekerasan power-sender mendudukkan diri sebagai penguasa yang memiliki kemampuan persuasif untuk menguasai, mempengaruhi gagasan dunia kesadaran berada di bawah kekuasaannya ( power recipients). Dalil (13): Mereproduksi teks laporan keuangan secara akurat dari masa lalu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin. Hermenutika Ideologi Kritik (Frankfurt School), Jurgen Habermas Hermeneutika Kritis (1929), menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutik. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium idiologi dominasi kekuasaan dan eliminasi kebenaran pinggiran.
Artinya bahasa dalam SAK dan SPAP adalah memiliki konteks teks tuan budak seperti agency theory, dimana dua standar tersebut adalah teks yang dipakai untuk membela tuan dalam hal ini pemilik modal, dan penindasan terhadap kaum pekerja. Implikasi penelitian ini adalah hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.
Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Artinya bahasa dalam SAK dan SPAP adalah memiliki konteks teks tuan budak seperti dijelaskan dalam agency theory, dimana dua standar tersebut adalah teks yang dipakai untuk membela tuan dalam hal ini pemilik modal, dan penindasan terhadap kaum pekerja.
Laporan audit dijelaskan untuk pemegang saham, artinya terdapat makns laporan tersebut melayani kepentingan kapitalisme (berjouis). Dengan demikian hermenutika dalam konteks SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), dan SPAP atau Standar Audit adalah idiologi kekuasan kapitalisme, dan tidak ada upaya perjuangan kelas bawah kuli atau pegawai (agnet) Implikasi penelitian ini adalah (1) hermeneutika sebagai narasi mengenai realitas yang diproduksi oleh gerak sejarah selalu majemuk. Multinarasi selalu tak terhindarkan ketika berbicara realitas. Realitas tidak bisa dinarasikan secara monolitik, karena selalu memiliki energi melahirkan pluralitas narasi, (2) tidak semua realitas dapat diwakili dalam bahasa SAK dan SPAP sehingga apapun dalam laporan keuangan memiliki ketidak mampuan mengungkapkan seluruh fenomena yang ada. Artinya bahasa SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), dan SPAP atau Standar Audit tidak cukup mewakili realitas transaksi ekonomi akuntansi. Implikasi penelitian ini adalah hermeneutika kritik dalam artian lebih luas lagi SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP), dan SPAP atau Standar Audit adalah Kekuasaan dan 'Koleganya', Kekerasan dan Kebebasan. Kekuasaan mempunyai pengertian yang sangat beragam.
Keragaman pengertian kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan pengertian kekerasan dan kebebasan. Bicara kekuasaan, seragam apapun konsepsinya, tidak bisa steril dari terminologi kekerasan dan kebebasan. Inilah mengapa sub-pembahasan ini menggunakan judul kekerasan dan kebebasan sebagai 'kolega' dari kekuasaan. Secara filosofis kekuasaan tidak bisa dimengerti sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, ia selalu berkaitan dengan hal-hal lainnya. Itulah mengapa para pemikir atau filsuf ketika harus menjelaskan kekuasaan selalu dikaitkan dengan realitas-realitas lain seperti kekerasan dan kebebasan. Yang paling kasar, pengertian kekuasaan dihubungkan dengan kekerasan.
Dari hubungan ini muncul tiga jenis kekuasaan, menurut Galtung sebagaimana disitir oleh Nasikun, yaitu kekuasaan ideologis, kekuasaan remuneratif, dan kekuasaan punitif. Yang pertama, legitimasi kekuasaannya terletak pada pemimpin simbolik-karismatis. Pemimpin model ini adalah power-sender yang mendudukkan diri sebagai penguasa yang memiliki kemampuan persuasif untuk menguasai, mempengaruhi gagasan dan dunia kesadaran mereka yang ada di bawah kekuasaannya ( power recipients). Kekuasaan jenis ini biasanya menuntut 'kepatuhan dan ketundukan'.
Yang kedua bersumber pada kemampuan untuk menawarkan 'ganjaran' berupa barang-barang, jabatan, dan lain sebagainya. Kekuasaan model ini menuntut 'ketergantungan'. Sementara yang terakhir bersumber pada kemampuan untuk memberikan sangsi atau hukuman yang Galtung sendiri menyebutnya 'kejahatan'. Kekuasaan jenis ini menuntut 'rasa takut'.
Ketiga tuntutan itu sebenarnya adalah penggunaan kekerasan terhadap orang yang dikuasainya. Kekuasaan ideologis dengan indoktrinasi dan berbagai bentuk rekayasa pikiran merupakan wujud pengungkapan kekerasan psikologis.
Kekuasaan remuneratif dengan memberikan jabatan, kedudukan, korupsi atau kolusi dan seterusnya sebenarnya melakukan sebuah kekerasan fisik dan psikologis sekaligus. Sementara kekuasaan punitif sama dengan remuneratif, yaitu melahirkan bentuk kekerasan fisik dan psikologis, berupa penyiksaan, penganiayaan, ancaman, tekanan, dan sejenisnya. Filosof-filosof lain, seperti Nietzsche, Sartre, dan eksistensialis secara umum, memahami kekuasaan dalam hubungannya dengan kebebasan. Kekuasaan biasanya terkait dengan kebebasan.
Orang yang tertekan adalah orang yang tidak bebas, dan dia sekaligus juga tidak berkuasa. Orang yang tidak memiliki inisiatif dan pilihan sendiri dalam hidupnya adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan atas dirinya. Dengan mengikuti pilihan orang lain, dia telah berada dalam genggman kekuasaan orang.
Dengan cara demikian, dia adalah orang yang tidak bebas. Penjelasan ini mencoba memahami kekuasaan dalam kaitannya dengan kekerasan sebenarnya juga terlihat secara implisit problem kebebasan. Saya akan menyederhanakan penjelasan kekuasaan dalam SAK (Syariah, ETAP, IFRS, ASP) dan Standar Audit kaitannya dengan kekerasan dan kebebasan di atas ke dalam dua jenis pengertian kekuasaan, yaitu kekuasaan represif dan kekuasaan non represif.
Memulai pengertian kekuasaan memang paling mudah dari penguhubungannya dengan pengertian kebebasan dan kekerasan. Secara umum mungkin bisa dikatakan kekuasaan itu adalah suatu kekuatan yang dimiliki seseorang yang dengannya dia mampu mengatur, mengendalikan, bahkan memaksakan tindakan-tindakan orang lain. Suatu fenomena mengenai paham kekuasaan adalah seseorang, atau sekelompok orang, atau suatu sistem politik dianggap memiliki kekuasaan ketika dia, atau mereka, atau ia berhasil menciptakan keadaan hidup orang lain dalam rasa ketakutan dan rasaketerpaksaan untuk tunduk-patuh padanya, atau pada mereka, atau pada suatu sistem politik itu.
Namun fenomena yang sebaliknya, seperti berontaknya seseorang terhadap orang lain, protesnya sekelompok orang terhadap kelompok lain, baik dalam bentuk reaktif-dialogis ataupun dalam bentuk reaktif-anarkis, sebenarnya merupakan indikasi manusia itu tidak ingin begitu saja dikuasai oleh pihak lain, manusia itu selalu berebut tentang kekuasaan, karena di dalam kekuasaan itu orang merasa memperoleh dan bahkan mengontrol kebebasannya. Dalam fenomena yang pertama, kekuasaan dimengerti dalam penggunaan kekerasan suatu pihak atas pihak lain. Otoritarianisme seseorang atau sekelompok orang berkuasa memperlakukan orang atau kelompok-kelompok orang lain sebagai objek kekuatannya. Relasi kekuatan yang diproduksinya adalah hubungan majikan dan budak, bukan hubungan atasan dan bawahan. Pemakaian kata budak menunjukkan pihak lain baik individual atau kolektif sebagai pihak yang tak berdaya, lemah, dan tertindas. Budak merupakan penggambaran pengebirian kebebasan orang. Pemahaman ini menampilkan suatu pengertian represif dari kekuasaan.
Dalam fenomena yang kedua, kekuasaan merupakan hasrat dari kebebasan manusia. Berontak dan protesnya orang terhadap tekanan yang dipaksakan orang lain mengindikasikan orang pada dasarnya tidak suka dibatasi dan dibelenggu oleh orang lain.
Hal yang sama juga berlaku untuk hubungan suatu kelompok orang dengan kelompok orang lain. Pemberontakan dan perlawanan suatu pihak atas pembatasan dan pembelengguan oleh pihak lain merupakan upaya alamiah manusia untuk merebut kekuasaan dari pihak lain demi mendapatkan kebebasan.
Perebutan kekuasaan ini, dalam kemungkinan pertama, bisa mendorong pihak yang awalnya dikuasai ingin berbalik menguasai, atau dalam kemungkinan kedua, juga bisa mendorong pihak yang awalnya dikuasai tidak ingin melakukan hal membatasi dan membelenggu pihak lain, karena telah merasakan ketidakbebasan yang tidak menyenangkan. Pemahaman kemungkinan pertama memperlihatkan pengertian kekuasaan represif sebagai reaksi balas dendam atas kekuasaan represif sebelumnya. Pemahaman kemungkinan kedua menunjukkan suatu pengertian kekuasaan yang tidak represif, yakni pencarian suatu pola relasi kekuatan antar manusia saling melindungi, memberi, dan membebaskan. Kekuasaan represif merupakan suatu upaya melindungi kekuatan, umumnya ideologis, politis dan ekonomis. Kekuasaan jenis ini cenderung membangun suatu pengetahuan dalam hal apapun dalam kategori pengetahuan yang legal dan ilegal. Pengetahuan legal merupakan pengetahuan yang sejalan dengan pandangan ideologis, politis dan ekonomis dari yang berkuasa.
Tindakan ilegal orang muncul dari pengetahuan ilegalnya. Ilegalitas ini harus dieliminasi dalam konsep kekuasaan represif.
Demi dominasinya pengetahuan, perilaku, dan gerakan yang legal, kekuasaan melalui institusi politis, sosial, dan pendidikan memproduksi pengetahuan, perilaku, dan gerakan yang legal sebagaimana yang diinginkan kekuasaan. Pandangan, perilaku, dan gerakan orang baik secara individual maupun kolektif yang berlawanan dengan kekuasaan dipandang sebagai pandangan, perilaku, dan gerakan yang ilegal yang dianggap sebagai ancaman dan musuh yang harus dimusnahkan dengan kekerasan dan paksaan sepihak dari penguasa.
Adapun jenis kekuasaan yang tidak represif menyadari adanya pengetahuan, perilaku, dan gerakan yang ilegal dari sebagian orang atau masyarakat, namun eliminasi dan pemusnahan mereka bukan merupakan pilihan yang dipaksakan dengan kekerasan. Ini bisa mengambil dua bentuk kekuasaan. Bentuk kekuasaan non represif yang pertama, pihak penguasa mungkin memiliki pengetahuan, perilaku, dan gerakan legal tertentu dan tidak menghendaki yang ilegal, dan menginginkan pihak yang melakukan ilegalitas bisa memahami ilegalitasnya dan dengan sadar mengikuti legalitas dalam paham penguasanya. Pihak penguasa membangun cara-cara komunikatif rasional, bukan cara-cara paksaan dan kekerasan, dengan pihak yang dikuasai untuk suatu penerimaan legalitas pengetahuan, perilaku, dan gerakan.
Bentuk kekuasaan non represif yang kedua, pihak yang berkuasa mendorong pihak-pihak yang dikuasai menyadari dan memahami pentingnya memiliki pengetahuan, perilaku, dan gerakan legal dan ilegal sebagai dasar bersama. Mereka saling berdiskusi secara argumentatif untuk menemukan mufakat mengenai pengetahuan, perilaku, dan gerakan legal dan ilegal secara rasional, dan kemudian menjadikannya dasar bersama untuk melangkah ke depan. Di sini, pihak yang berkuasa dan yang dikuasai menundukkan dan mematuhi bersama dasar legalitas dan ilegalitas politis yang telah dirumuskan bersama. Dengan jalan ini, kebebasan dirasakan didapat baik oleh pihak yang berkuasa maupun oleh pihak yang dikuasai. Sepintas cara ini terlihat menanggalkan kekerasan demi kebebasan, namun ia sesungguhnya, kalau dicermati, masih mengandung kekerasan, karena dalam komunikasi rasional ada dasar yang harus diindahkan, yaitu, bagi bentuk kekuasaan non represif pertama, legalitas yang dikehendaki penguasa, dan bagi bentuk kekuasaan non represif kedua, legalitas yang disepakati antara pihak penguasa dan pihak yang dikuasai.
Namun kekerasan yang dikesankan di sini memiliki pengertian, kalau boleh diistilahkan, kekerasan lunak atau soft violence. Ini berbeda dengan kekerasan yang ada dalam kekuasaan represif, yaitu sebaliknya, kekerasan kasar atau hard violence. Hermeneutika Romantatik. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). Schleiermacher, sebagai ' the founder of General Hermeneutics.'
Hermeneutical Schleiermacher adalah seni memahami hadir find art membutuhkan yang membutuhkan kompetensi (dalam memahami) pada dari kesalahpaham, Seni memahami merupakan perpaduan tiga hal retorika, dialektika, logika. Seni bicara (retorika), seni menulis, seni memahami. Pada poin 1,2 adalah sisi luar pikiran apa yang diungkapkan;sedangkan poin 3 adalah sisi dalam manusia.Tulisan adalah pada targetnya dunia mental (pikiran) penulis, dan memahami tulisan adalah masuk dalam mental penulis dengan melakukan atau Nacherleben (dialami kembali). Memahami isi kulit pengarang: adalah interpretasi gramatis (kalimat gaya bahasa simantik, kata-kata dipakai, sejarah) dan interprestasi dunia psikologis mental (apa kiranya yang/isi kembali dipikir penulis) (1+2) disebut nacherleben, re experience, empaty, dan transposisi secara otentik. Memahami Hermeneutical Schleiermacher: isi pikiran,(kalimat kereta isi pikiran); atau isi kalimat merupakan duanya penting atau lingkaran hermeneutika bagian bagian, bagian juga adalah keseluruhan dan bersama sama. Kalimat bisa isi pikiran bisa juga tidak, (=bukan manusia mengucapkan kalimat, tapi kalimat adalah mengungkapkan manusia).
Sama seperti Tubuh, dan Jiwa sebagai satu kesatuan. Apakah cara itu dapat dibenarkan lebih baik akan terjadi penafsir lebih memahami dibandingkan penulis/ pengarangnya sehingga erjadilah objektivitas (=melalui / nacherleben ). Menghadirkan makna masa lalu, dalam psikologis gramatis, reproduksi, lebih baik dari awal nya. Memberi makna akan melampaui Letarisme dan mereka lebih paham dari penulis awalnya atau dikatakan Hermeneutical (= Mengambil alih fungsi dari fungsi pengarang sehingga lebih baik dari penulis aslinya). Hermeneutika Romantisis-Historis Wilhelm Dilthey (1833-1911).
Dilthey Crituque of Historical Reason. Hermeneutika Dilthey menggabungkan dua, kajian ilmu kebudayaan-historis dan pemikiran romantisis Schleiermacher dengan kajiannya yang sangat mendalam terhadap pengalaman kehidupan manusia dalam sejarah. Pemikiran historis Dilthey, yang mencakup masalah dikotomi antara ' Naturwissenschaften ' dan ' Geisteswissenschaften ' kajian tentang Erlebnis, dan selanjutnya diteruskan dengan pemikiran hermeneutika romantisis-historis Dilthey.Pemikiran Dilthey tak akan pernah mencapai sebuah titik terang sebelum kajian-kajian para pendahulunya dikaji pula. Sebab, baik dalam pemikirannya mengenai hermeneutika romantis ataupun yang berkenaan dengan ilmu historis, ia sangat dipengaruhi oleh wacana-wacana yang telah berkembang saat itu. Dilthey dan mazhab Historis Sejarah Filsafat, menjelaskan historisisme adalah sebuah aliran pemikiran yang selalu mengacu pada aspek sejarah dalam penjelasan tentang fenomena alam. Bahkan, menurutnya, historisisme terkadang berlebihan dalam penekanannya pada aspek kesejarahan itu.
Pemikiran psikologisme Schleiemacher yang memposisikan individu sebagai sosok transendental yang memungkinkan para pembaca untuk melakukan pendekatan psikologis untuk memahami individu transendental tersebut. Dengan memahami psikologi, seorang pembaca akan sangat mungkin untuk mengenal sosok author dengan baik, bahkan lebih baik dari pada author itu sendiri.
Schleiermacher telah melakukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran sang author. Data-data tentang seorang individu sejarah hanyalah sebuah teks dari teks sejarah universal. Dan sejarah hanya dapat ditafsirkan oleh sejarah itu sendiri. Namun demikian, Dilthey melihat kritik Ranke dan droysen tidak memiliki dasar epistimologi sebagai pijakan. Untuk itu, dikotomi antara ilmu pengetahuan alam ( Naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya atau ilmu kemanusiaan ( Geisteswissenschaften) akan menjadi batu dasar pemikiran historis Dilthey.
Pemikiran Historis Dilthey Kemajuan ilmu pengetahuan, yang saat itu telah dikuasai oleh nalar positivistik, memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Pengaruh itu tidak hanya lihat pada ilmu pengatahuan eksakta yang memiliki objek yang nyata, yakni fenomena alam, dalam ilmu-ilmu sosial pun pengaruh itu pun mulai terasa. Seakan-akan menjadi sebuah kecenderungan baru, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif, netral dan dapat dibuktikan. Padahal bagi Dilthey hal semacam itu kurang tepat. Sebab antara ilmu eksakta dan ilmu sosial-budaya terdapat jurang perbedaan yang sangat mencolok. Keberadaan fenomena alam yang bersifat umum dan sangat mungkin untuk diulang secara terus menerus memang layak didekati dengan pendekatan positivistik.
Sementara ilmu-ilmu sosial budaya memiliki karakteristik objek yang berbeda. Objek ilmu sosial budaya adalah manusia dan kehidupannya yang bersifat individual, unik dan mendalam menembus batas-batas lahiriah, yang tidak mungkin terjadi pada objek alam lainnya. Dengan demikian, penerapan paradigma positivistik dalam ilmu-ilmu sosial-budaya bukanlah suatu hal yang tepat. Karena itu, Dilthey menganggap perlu adanya penarikan garis demarkasi yang jelas antara ilmu-ilmu alam ( Naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu kemanusiaan ( Geisteswissenschaften). Baginya, eksplanasi ala tidak pantas diterapkan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan.
Dibutuhkan pemahaman ( Verstehen) yang bisa meng-cover kompleksitas dalam direi manusia. Namun tidak lantas semua permasalahan sudah selesai, Dilthey melihat perlu adanya kerangka pemikiran yang jelas agar penjelasan-penjelasan tentang ilmu kemanusiaan mencapai titik objektif sehingga dapat diakui kebenarannya. Manusia, bagi Dilthey, tidak hidup dalam kategori-kategori mekanis namun dalam kompleksitas pengalaman-pengalaman hidup langsung sebagai sebuah totalitas, yang merupakan makna hidup, serta hidup dalam pemahaman partikular yang harmonis. Jadi, bukan melalui introspeksi, melainkan hanya melalui sejarah (kehidupan) kita dapat mengetahui diri kita. Sebab di luar kehidupan, pemikiran tidak akan jalan. Yang dimaksudkan dengan kehidupan di sini adalah pengalaman manusia yang dikenal dari dalam. Akan tetapi kategori kehidupan tidak berasal dari realitas transendental, melainkan berasal dari realitas pengalaman hidup.
Pengalaman, Ekspresi Dan Pemahaman Untuk mengkaji secara serius pemikiran hermenutika Dilthey, kita di tuntut untuk memahami makna ketiga kata kunci di atas; pengalaman ( Erlebnis), ekspresi ( Ausdruck) dan pemahaman ( Verstehen). Erlebnis adalah istilah yang digunakan Dilthey untuk menyebut pengalaman hidup. Yang dimaksud dengan pengalaman di sini bukanlah sesuatu yang sudah pernah kita alami.
Dia bukanlah rekaman atas masa lalu yang berada di hadapan kita sebagai objek penelitian. Pengalaman, bagi Dilthey, bukan pula sesuatu yang dihasilkan melalui refleksi dan sebagainya. Pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman hidup, di mana seseorang bersentuhan langsung dengan realitas. Baik itu berhadapan secara langsung ataupun melalui proses transposisi, di mana sesorang akan menemukan dirinya dalam orang lain. Ekspresi ( Ausdruck) bisa dimaknai sebagai ekspresi. Akan tetapi yang dimaksud di sini bukanlah ekspresi sebuah perasaan melainkan sebuah ekspresi hidup dalam pengalaman hidup kita, baik langsung ataupun tidak langsung.
Verstehen adalah sebuah kata yang bisa dibandingkan dengan Erklaren yang bermakna menjelaskan. Kata ini biasanya dipakai untuk sesuatu yang bersifat pasti, sangat cocok untuk Naturwissenschaften. Verstehen adalah proses pemahaman yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup kompleksitas seorang manusia.
Pemahaman ini juga dimaknai dalam makna yang berbeda yaitu pemahaman terhadap ekspresi dalam pengalaman hidup. Perbedaan objek Versthen dan Erklaren berpengaruh pada hasil dari keduanya. Pada kasus ilmu-ilmu alam, objek adalah sesuatu yang bersifat statis sehingga dapat diulang-ulang dan memperoleh hasil pengetahuan yang sama.
Di sisi lain, manusia dan problematika kehidupannya, yang menjadi lahan garapan Verstehen, selain juga memiliki dimensi psikologis-mental, adalah makhluk yang hidup dalam temporalitas waktu yang membuatnya selalu berubah-ubah dan dinamis. Hasil yang diperoleh dari Verstehen pun bersifat dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu sang pembaca. Dilthey untuk melepaskan diri dari kungkungan pengaruh psikologisme Schleiermacher, Historisisme dan, sebagaimana lazimnya kaum romantisis, pengaruh positivisme sains. Bagi Dilthey, sejarah tidaklah bersifat individual.
Jadi tidak cukup memahaminya hanya melalui pendekatan psikologis terhadap seorang individu. Sejarah tidak pula bersifat metefisik seperti mazhab historis, apalagi pendekatan sains ala kaum positivis. Objektifikasi yang ia lakukan tidak kemudian menunjukkan dia telah berkompromi dengan kaum positifis, ia melakukan semua itu hanya untuk mendapatkan makna sejarah yang benar. Dilthey telah mampu melampaui ketiga kecenderungan di atas dengan baik, meski ia juga banyak menuai kritik dari para pakar sesudahnya. Hermeneutika Romantisis-Historis Dilthey untuk menekuni bidang ilmu sosial-kemanusiaan begitu mempengaruhi corak pemikiran hermeneutikannya. Pengaruh di sini dimaksudkan Dilthey tidak menawarkan sesuatu yang baru, melainkan hanya melanjutkan gagasan hermeneutika romantisis Schleiermacher. Hermeneutika Schleiermacher dapat dipetakan menjadi dua; hermenutika pragmatis dan hermenutika metodis.
Hermeneutika pragmatisnya mengandaikan posisi seorang individu, dalam hal, ini sang author, sebagai pusat tujuan hermeneutika. Teks-teks sejarah baginya adalah sumber-sumber rujukan dalam menjelaskan pribadi author. Penekanan pada pemahaman gramatikal teks dan pemahaman psikologis author adalah langkah praksis dari yang ia lakukan.
Pembaca haruslah melepaskan ego-nya untuk dapat memahami psikologis objek dengan harapan pembaca dapat memahami author melebihi pemahaman author terhadap dirinya sendiri. Sementara itu, Schleiermacher gagal dalam menggagas hermeneutika metodisnya. Inilah yang kemudian menjadi domain pemikiran Dilthey, meski dia tidak memposisikan hermeneutika hanya terbatas pada dunia teks.
Ia meletakkan hermeneutika sebagai dasar ilmu sosial-kemanusiaan untuk membedakannya dari ilmu alam (sains), sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dilthey mengadopsi lingkaran hermeneutik ( hermeneutic circle ) Schleiermacher, sebagian dapat dijelaskan oleh keseluruhan dan keseluruhan dapat dijelaskan oleh sebagian. Namun ia berbeda dengan Schleiermacher dalam hal tujuan utama pemahaman. Dilthey menjadikan pemahaman terhadap individu hanya sebagai sebuah teks sumber untuk memahami dunia historis yang lebih luas. Proses hermeneutika, menurut Dilthey, secara berurutan, adalah memahami cara pandang dan gagasan author, memahami makna kegiatan (ekspresi) author yang berkait dengan sejarah dan menilai berdasarkan gagasan, waktu dan tempat saat pembaca hidup.
Dengan demikian, proses hermeneutika ala Dilthey ini membuka kemungkinan terjadinya perluasan pemahaman (produksi) dari gagasan author. Hermeneutika Dilthey tidaklah berbeda dari hermenutika romantis Schleiermcher, kecuali beberapa bagian seperti di sebut sebelumnya. Bahkan seringkali pemikiran hermeneutika keduanya dirangkum dalam satu pembahasan hermeneutika romantis. Komentar terhadap pemikiran Dilthey, sebagaimana yang telah dikatakan tadi, pemikiran cemerlang Dilthey tidak akan pernah luput dari kritik. Para pakar yang lahir sesudahnya terus melanjutkan pemikirannya dengan sambil lalu mengkritisi dan menambal kekurangan yang masih ada.Hermeneutika romantisis seperti Schleiermacher, Dilthey dan Betti mengandaikan keterhubungan historis antara author dan pembaca. Dilthey, sebenarnya, dapat menyadari adanya pra-andaian dalam diri manusia yang akan menghalangi mereka untuk mendapatkan makna yang objektif dari sebuah peristiwa sejarah. Maka dibuatlah teori keterhubungan sejarah yang, menurut Gadamer, justru membunuh pikiran itu sendiri.
Kalaulah manusia adalah wujud historis yang dapat hidup, memahami dan dipahami secara historis, bagaimana manusia dapat memahami sejkarah secara historis. Dan bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri dan meningkap makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud historis yang lain. Pertanyaan ini, menurut Paul Ricoeur belum terpecahkan oleh hermeneutika Dilthey. Dapat dibuat kesimpulan Dilthey membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften karena ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan dengan hidup manusia.
Dilthey menyatakan metode atau pendekatan hermeneutik merupakan dasar dari Geisteswissenschaften. Ia tertarik pada metode hermeneutik ketika memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala pengetahuan tentang individu manusia menjadi ilmiah. Persoalan pokok Dilthey adalah bagaimana menemukan metode lain untuk Geisteswissenschaften jika metode ilmiah tidak dapat digunakan. Hermeneutik sebagai metode Geisteswissenschaften. Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Hermeneutika Dialogis.
Proyek filsafat Gadamer, dalam 'Truth and Method adalah menguraikan konsep hermeneutika filosofis, yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen 'kebenaran' dan 'metode' saling bertentangan.
Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora ( Geisteswissenschaften). Gadamer tentang hermeneutika antara lain adalah: 1) Hermeneutika merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai proses ontologism di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode objektifitas melainkan modus existendi manusia.